Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) merupakan
salah satu institusi penting dalam suatu
negara hukum sebagaimana Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dikatakan
didalam Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia Tahun 2002 pasal 2
bahwa “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada mesyarakat”. Sedangkan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor
89 Tahun 2000 Tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
pasal 1 dikatakan bahwa ” Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan
lembaga pemerintah yang mempunyai tugas pokok menegakkan hukum, ketertiban umum
dan memelihara keamanan dalam negeri”.
Salah satu gangguan kamtibmas yang menjadi fokus
perhatian POLRI saat ini, adalah bagaimana manangani kejahatan atau gangguan
kamtibmas yang dilakukan secara massal. Kejahatan dengan melibatkan pelaku
dalam jumlah yang sangat besar sampai mencapai ribuan seperti unjuk rasa, penjarahan
massal, rusuh massal, perkelahian antar kelompok, pembalakan liar, penambangan
liar, issu sara, eksekusi obyek sengketa, penggusuran pemukiman liar, pembunuhan dukun santet dan sebagainya.
Mengapa demikian, karena gangguan keamanan seperti tersebut diatas mempunyai
spektrum ancaman faktual dan dampak sosial yang sangat luas, juga dapat
mengganggu stabilitas keamanan dan merongrong kewibawaan negara, serta
menghambat pertumbuhan ekonomi nasional karena investor asing takut menanamkan
modalnya di negara yang keamanannya tidak terjamin.
Gangguan keamanan dan kejahatan massal sebagaimana
diuraikan diatas, dalam penanggulangan dan penanganannya di lapangan oleh
aparat POLRI selalu berakhir dengan terjadinya bentrokan, arogansi dan
kekerasan (agresi) yang dilakukan oleh kedua belah pihak, baik oleh aparat
maupun oleh massa yang ditertibkannya. Dalam bentrokan tersebut selalu
menimbulkan korban dari kedua belah pihak, baik luka-luka bahkan sampai
meninggal dunia. Akibat lain yang ditimbulkan adalah kerugian harta benda,
rusaknya infra struktur sosial dan hancurnya hasil pembangunan serta
menimbulkan ketakutan, kecemasan dan perasaan tidak aman pada masyarakat.
Contoh nyata kasus kekerasan yang terjadi antara aparat dan massa adalah kasus tewasnya mahasiswa trisakti
dalam kerusuhan reformasi yang dikenal dengan
tragedi “Jembatan Semanggi” tanggal 14 dan 15 Mei 1998 di Jakarta (Jawa
Pos, 15&16 Mei 1998), tewasnya tiga orang anggota brimob dalam kasus
kerusuhan massa di Abepura Jayapura Papua, peristiwa Tanah Runtuh Gebang Rejo
Poso Kota tanggal 22 Oktober 2006 yang menewaskan 1 orang masyarakat oleh
pasukan brimob (Jawa Post, 23 Oktober 2006), penganiyaan mahasiswa UMI Makassar
oleh pasukan dalmas Poltabes Makasaar Sulawesi Selatan, kasus kerusuhan
supporter persebaya (bonek), tewasnya aparat dalam penggerebekan aliran sesat
di Makassar dan sebagainya.
Pasukan pengendali massa (dalmas), adalah pasukan
POLRI yang berasal dari unsur Brimob dan Samapta yang dipersiapkan dan dilatih
secara khusus untuk menangani gangguan kamtibmas dan kejahatan yang bersifat
massal sebagaimana yang diuraikan diatas. Pasukan ini dalam pergerakannya di
lapangan, selalu dalam bentuk kelompok baik dalam bentuk peleton (ton), kompi
(ki), batalion (yon) sampai dengan detasemen (resimen) tergantung dari jenis
massa, jumlah massa dan eskalasi ancaman faktual yang dihadapi di lapangan.
Untuk menghindari adanya penyimpangan dan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan
tugas mengendalikan massa, pasukan ini dilatih secara khusus tentang
pengetahuan bagaimana cara mengendalikan massa, melokalisir, mengevakuasi dan
membubarkan massa dengan aman dan tertib tanpa menimbulkan korban. Disamping
dilatih secara khusus, pasukan ini juga dilengkapi dengan piranti lunak (pilun)
berupa prosedur tetap (protap) yang mengatur tentang prosedur dan
langkah-langkah serta pedoman yang harus dilakukan dalam mengamankan massa di
lapangan. Didalam protap pengendalian
massa, dijelaskan tentang tingkatan-tingkatan tindakan yang harus diambil
pasukan dalmas di lapangan, disesuaikan dengan jumlah dan jenis massa serta
tingkat eskalasi ancaman yang dihadapi. Penekanan dalam protap tersebut lebih
diarahkan kepada pendekatan psikologis dengan lebih mengedepankan pendekatan
persuasif, preventif dan preemtif daripada pendekatan represif, dengan maksud
untuk mencegah terjadinya konflik horisontal antara aparat dengan massa.
Langkah–langkah tersebut antara lain misalnya, ketika menghadapi massa demonstran atau unjuk rasa yang damai, dalam
hal ini tugas pasukan adalah mengawal
dan memberikan rasa aman ketika massa berorasi sampai selesai kegiatan
massa dan tidak dibenarkan menggunakan atribut dalmas lengkap. Tetapi apabila
massa yang dihadapi adalah massa yang marah yang dapat menjurus kearah
terjadinya rusuh massal, maka langkah-langkah yang dihadapi berbeda. Dalam menghadapi massa yang marah pendekatan yang
diutamakan tetap persuasif, preemtif dan preventif dengan mengedepankan
negoisasi dengan korlap-korlap massa , namun apabila tidak berhasil pasukan
dibenarkan melakukan tindakan represif yang terukur. Diawali negoisasi dengan
korlap atau pimpinan massa, penghadangan massa oleh pasukan yang memakai
tongkat dan tameng dalmas, penyemprotan air dengan kendaraan taktis (rantis) water canon, penembakan dengan gas air
mata, penembakan dengan peluru hampa, penembakan dengan peluru karet, dan
tahapan terakhir adalah penembakan dengan peluru tajam dengan prinsip terarah
dan terukur. Tindakan represif ini hanya disarankan apabila situasi di lapangan
sudah tidak dapat dikendalikan dan amuk massa sudah mengarah kepada rusuh
massal yang brutal, arogan dan merusak serta menimbulkan korban.
Sebelum dilakukan tindakan represif terlebih dahulu
diberikan peringatan melalui pengeras suara oleh perwira pengendali di
lapangan, yang diawali dengan kata-kata atas nama undang-undang dan demi
ketertiban umum serta keamanan masyarakat, diperintahkan kepada saudara-saudara
untuk segera membubarkan diri dan kembali ketempatnya masing-masing dan seterusnya. Apabila peringatan tersebut
tidak diperhatikan, maka dilanjutkan dengan tembakan peringatan ke udara
sebanyak tiga kali, dan selanjutnya tindakan represif dilakukan sesuai dengan
tahapan-tahapan diatas. Protap ini
dimaksudkan untuk menyamakan langkah dan tindakan pasukan di lapangan, serta
untuk menghindari adanya pelanggaran dan penyimpangan prosedur yang dapat
berakibat terjadinya pelanggaran HAM baik ringan maupun berat oleh pasukan
dalmas.
Tugas pasukan dalmas di lapangan adalah menjaga,
melokalisir dan menghalau massa agar tetap berkumpul di suatu tempat dan
kemudian membubarkannya. Pada umumnya konsentrasi massa yang sedang
dihadapi adalah merupakaan massa yang
tidak puas, massa yang frustrasi, massa yang sedang mengajukan suatu tuntutan
dan massa yang sedang marah. Apabila massa yang sedang marah tersebut kemudian
terhalangi kehendaknya, sesuai dengan sifat-sifat massa yang dinamis, sensitif,
distruktif, mudah berubah dan emosional, maka ada kecenderungan massa untuk
melakukan tindakan agresi dan provokasi terhadap pasukan dalmas yang
dianggapnya sebagai penghalang aspirasi dan tuntutannya.
Provokasi dan agresi massa terhadap pasukan dalmas di
lapangan dapat berupa ejekan, caci maki dengan kata-kata kotor hingga berbentuk
agresi fisik. Seperti mendorong dan mendesak pasukan dengan kekuatan massa,
pelemparan batu, pelemparan telur busuk atau tomat busuk dan kotoran manusia,
pelemparan bom molotov (bondet), merusak
barikade dan kendaraan petugas, membakar ban bekas, melakukan pemukulan dengan
benda tajam dan benda benda keras lainnya. Agresi tersebut dapat berakibat
terjadinya korban luka berat dan ringan, bahkan yang fatal dapat menimbulkan
kematian pada pasukan dalmas sebagaimana yang telah dicontohkan diatas.
Disamping dapat berakibat secara fisik, agresi massa juga dapat berakibat
secara psikhologis kepada pasukan dalamas, seperi rasa takut, stress, cemas dan
traumatis. Karena harus menanggung provokasi dan agresi secara terus menerus di
lapangan, pasukan dalmas disamping harus dilatih secara khusus dan profesional
juga dituntut mempunyai stabilitas emosi yang mantap, mempunyai ketegasan dan
keberanian yang terarah, sabar, mempunyai kwalitas fisik dan psikhis yang prima
serta mempunyai mental kepribadian yang menarik.
Provokasi yang dilakukan pasukan dalmas terhadap massa
adalah merupakan respon balik terhadap prilaku massa yang sebelumnya telah
melakukan provokasi dan agresi, sehingga peristiwa yang terjadi selanjutnya
adalah merupakan kontra agresi antara massa dengan pasukan dalmas. Agresi yang
dilakukan pasukan dalmas terhadap massa dapat berupa ejekan, caci maki dan
teriakan-teriakan dengan suara keras sebagai luapan ekspresi kemarahan,
dorongan dengan tameng dalmas, pemukulan
dengan tangan kosong dan tongkat dalmas, penggunaan kendaraan taktis (rantis),
kendaraan penyemprot air (water cannon),
penembakan dengan gas air mata, penembakan peluru hampa dan peluru karet dengan
tujuan untuk membubarkan kerumunan
massa.
Agresi merupakan tindakan individu yang diarahkan pada
penghalang dalam pencapaian kepuasan (Krench, Crutchfield, dan Ballachey,
1982). Menurut para akhli psikologi, konsep agresi secara umum dimengerti
sebagai tindakan yang ditujukan untuk melukai atau menyakiti orang lain (Baron
& Grasiano, 1991). Yang menarik perhatian penulis yang sebelumnya pernah
bertugas sebagai pengendali pasukan dalmas, pada kenyataannya di lapangan
ditemukan bukti, bahwa tidak semua anggota yang tergabung dalam pasukan dalmas
serta merta melakukan tindakan agresi kepada massa.
Banyak faktor yang mempengaruhi
perilaku agresi pasukan dalmas di lapangan, salah satunya menurut peneliti
adalah peranan faktor kecerdasan emosional
(emotional intelligence)
masing-masing personel. Hal ini terlihat dari prilaku pasukan di lapangan, ada
yang gampang emosional, mudah tersinggung, sehingga mudah dipengaruhi oleh
situasi lapangan untuk melakukan provokasi dan agresi terhadap massa, tetapi
ada yang mampu mengendalikan emosinya dengan baik dan tidak ikut melakukan agresi terhadap massa yang
dihadapinya. Kecerdasan emsional (emotional intelligence) menurut Goleman
(1966), mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang
dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan
mengendalikan emosi dan menunda kepuasan serta mengatur keadaan jiwa. Dengan
kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi
yang tepat memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Fenomena ini menarik perhatian
dan menggugah minat peneliti, untuk melakukan penelitian terhadap perilaku
agresi pasukan dalmas di lapangan dikaitkan dengan kecerdasan emosional
masing-masing personil yang tergabung didalamnya. Walaupun belum ada
teori-teori dan pengetahuan empirik lainnya yang menjelaskan tentang adanya
hubungan antara kecerdasan emosional dengan perilaku agresi. Pertanyaan yang
muncul adalah, sejauh mana perilaku agresi yang dilakukan pasukan dalmas,
apakah ada kecenderungan perilaku agresi pasukan dalmas berhubungan dengan
kecerdasan emosional masing-masing personilnya. Dengan asumsi semakin tinggi
kecerdasan emosional semakin rendah perilaku agresi yang muncul dan sebaliknya
semakin rendah kecerdasan emosional semakin tinggi perilaku agresi yang muncul.
Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat dan menjawab pertanyaan sejauh mana
perilaku agresi pasukan dalmas, bagaimanakah tingkat kecerdasan emosional personil
pasukan dalmas dan apakah ada hubungan antara kecerdasan emosional dengan
perilaku agresi pasukan dalmas ketika menghadapi, mengawasi dan mengendalikan
konsentrasi massa di lapangan.
AGRESI
Pengertian agresi secara harfiah
seringkali membingungkan dan tidak dapat didefenisikan secara spesifik, karena
pengertian agresi secara terminologi menpunyai cakupan yang sangat luas dan
dapat dipergunakan diberbagai bidang ilmu, sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan yang semakin maju. Pengertian agresi lebih tepat untuk digunakan
dalam lapangan ilmu psikologi, biologi dan ilmu sosial, karena pada dasarnya
agresi adalah naluri alamiah yang dimiliki manusia dan binatang yang dipakai
untuk mempertahankan diri dari ancaman yang dihadapinya.
Berkaitan dengan disiplin ilmu
psikologi, secara umum agresi dipahami sebagai prilaku yang ditujukan untuk
melukai atau menyakiti orang lain (Baron & Grasiano, 1991; Baron &
Byrne, 1991; Brehm & Kassin, 1996; Sabini, 1992). Agresi juga didefinisikan
sebagai respon individu yang bertujuan untuk melukai organisme (Dollard, Doob,
Miller & Sears dalam Back, 1977). Ahli
psikologi yang lain Krech, Crutchfield, dan Ballachey (1992),
mendefinisikan agresi sebagai tindakan individu yang diarahkan kepada
penghalang pencapaian kepuasan. Tindakan agresi tidak hanya selalu ditujukan
kepada obyek penghalang pencapaian kepuasan saja, tetapi dapat juga ditujukan
kepada obyek lain yang tidak ada kaitan langsung dengan faktor penghalang
tersebut.
Pendapat lain mengatakan bahwa
prilaku menyerang orang lain dinyatakan sebagai perilaku agresi apabila
perilaku tersebut dilakukan dengan suatu niat atau kesengajaan (Taylor, Pepleu
& Sears, 1994). Pengertian ini perlu dipahami untuk mengetahui dan
membedakan serta memberikan penilaian apakah prilaku organisme yang terjadi dapat dikategorikan sebagai perilaku
agresi atau tidak. Robert Baron (dalam Koeswara, 1988) memberikan tambahan
definisi agresi dengan mengatakan bahwa agresi adalah tingkah laku individu
yang ditujukan untuk melukai atau mencelakakan orang lain, dimana obyek agresi
tidak menginginkan adanya tingkah laku tersebut.
Batasan dalam beberapa definisi tersebut diatas
secara jelas mengatakan bahwa korban atau obyek
agresi tidak pernah menginginkan
tindakan agresi terhadap dirinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindakan memukul orang
di jalan dengan tanpa adanya kesalahan
dan alasan yang jelas, tidak bisa disamakan dengan tindakan saling memukul
dalam pertandingan tinju, karate dan olah raga bela diri lainnya. Karena dalam
tindakan memukul orang di jalan obyek tidak menginginkan dan tidak menyetujui
adanya tindakan tersebut, sedangkan tindakan saling memukul dalam pertandingan
olah raga bela diri adalah tindakan yang diinginkan dan disetujui oleh kedua
belah pihak.
Perilaku agresi tidak selalu
berbentuk tindakan penyerangan secara fisik
yang dapat menimbulkan luka, tetapi juga dalam bentuk verbal yang berupa
caci maki dengan menggunakan kata-kata keras, kotor dan kasar yang disebut juga
dengan oral agresi. Prilaku agresi yang dimunculkan dalam bentuk tindakan fisik
akibatnya dapat berupa luka fisik dan psikis, sedangkan tindakan agresi verbal
atau oral agresi hanya menimbulkan luka psikis saja seperti timbulnya perasaan
marah, tersinggung, kecemasan, perasaan takut, keinginan untuk membalas
(dendam) dan gejala traumatis.
Berdasarkan pendapat yang
disampaikan para ahli diatas, dapat dimengerti bahwa agresi adalah merupakan
prilaku atau tindakan yang ditujukan untuk melukai orang lain baik secara fisik
maupun psikologis. Perilaku agresi juga dapat dikatakan sebagai perilaku yang disengaja yang tidak
diinginkan dan tidak disetujui oleh obyek agresi, serta dapat menimbulkan
akibat yang dapat merugikan secara fisik dan psikologis
Belief dan sikap merupakan
salah satu aspek penting terjadinya perilaku individu, hal ini dimungkinkan
karena belief dan sikap merupakan
komponen pendahulu dari intensi atau
kecenderungan individu menampakkan suatu perilaku. Melalui latar belakang teori
sikap dipahami bahwa intensi
merupakan salah satu komponen sikap, yaitu komponen konatif. Komponen konatif
ini dapat diartikan sebagai kecenderungan individu bertingkah laku sesuai
dengan objek sikap (Corsini, 1984).
Lebih jauh Engel dan Bleckwell (1982) mendefiniskan intensi sebagai suatu probabilitas subjektif bahwa
keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap akan direalisasikan dalam perilaku.
Selanjutnya Fishbein dan Ajzen (1975) menjelaskan bahwa kekuatan intensi
ditunjukkan dengan probabilitas subjektif yang melibatkan hubungan antara
individu dengan beberapa perilaku, terdapat beberapa harapan atau tujuan-tujuan
perilaku yang bertindak sebagai fasilitator kekuatan intensi. Sedangkan menurut
Djamaludin Ancok (1985) intensi diartikan sebagai niat atau kecenderungan untuk
melakukan perilaku atau melakukan kegiatan, niat itu bergantung dari sikap individu terhadap kegiatan
tersebut.
Intensi sebagai komponen konatif
dari sikap memiliki ciri-ciri khusus, Fishbein dan Ajzen (dalam Suhardono,
1986) merangkum beberapa ciri khusus tersebut sebagai berikut:
a. Behavior, yang menunjuk pada jenis perilaku spesifik yang
nantinya diwujudkan.
b. Target object, yaitu kepada siapa perilaku hendak diwujudkan.
c. Situation, yaitu dalam keadaan bagaimana perilaku itu hendak
diwujudkan.
d. Time, meliputi beberapa lama dan kapan perilaku itu hendak
diwujudkan.
Terdapat hubungan antara sikap
dan intensi dalam pembentukan suatu perilaku, individu yang bersikap favourable terhadap obyek sikap, maka
akan lebih cenderung bertindak positif terhadap obyek sikap dan demikian
sebaliknya. Merujuk pada pandangan Fishbein & Ajzen, Djamaludin Ancok
(1989) mengajukan suatu model hubungan intensi dalam kaitannya dengan sikap dan
perilaku.
Skema diatas merupakan skema umum
dalam pembentukan sikap dan perilaku. Apabila dikaitkan dengan penelitian
tentang kecenderungan melakukan tindak agresi maka kotak-kotak dalam skema
diatas dapat diisi dengan beberapa hal berikut:
a.
Keyakinan akan akibat perilaku x (agresi), akibat positif yaitu
merupakan salah satu cara melepaskan tekanan atau stress, Akibat negatif yaitu
pemicu timbulnya tindak agresi balasan dan jatuhnya korban.
b.
Keyakinan normatif akan akibat perilaku x (agresi), Akibat positif yaitu
merupakan salah satu cara membentuk disiplin dan penegakan aturan. Akibat
negatif yaitu secara umum semua komunitas sosial tidak setuju dengan perilaku
agresi.
c.
Sikap terhadap perilaku x (agresi) antara lain, Terbentuk
sikap positif atau negatif tentang tindak agresi.
d.
Norma subyektif tentang perilaku x (agresi), Tindak agresi
memang boleh dilakukan, namun harus memperhatikan keadaan dan situasi
lingkungan serta harus melalui pertimbangan yang matang mengenai berbagai
akibatnya, baik secara fisik maupun psikologis.
e.
Niat untuk melakukan perilaku x (agresi), Berdasarkan sikap yang terbentuk tentang
tindak agresi maka individu membuat pertimbangan-pertimbangan untuk menampakkan
tindak agresinya. Tahap ini merupakan tahap kecenderungan, yang mana masih
sebatas dorongan dalam diri individu untuk memperlihatkan tindak agresinya.
Jadi kecenderungan ini tidak dapat diobservasi secara langsung oleh individu
lain, karena gejalanya tidak nampak dari luar.
f.
Menunjukkan perilaku x
(agresi), Berdasarkan sikap dan kecenderungan yang terbentuk maka tindak agresi ditunjukkan atau tidak
ditunjukkan sama sekali.
JENIS-JENIS
AGRESI
Studi tentang perilaku agresi
telah banyak dilakukan oleh para ahli psikologi dengan memakai berbagai teori
dan pendekatan, studi tersebut mencakup berbagai aspek agresi sebagai
suatu perilaku yang sering ditampakkan oleh manusia. Berdasarkan
kategorisasi atau pengelompokannya ada beberapa jenis agresi yang dikemukakan
oleh para akhli psikologi. Jenis-jenis agresi tersebut adalah sebagaimana
dikemukakan dibawah ini.
Berdasarkan bentuk pendorongnya , maka prilaku agresi dapat dibedakan
dalam dua jenis, yaitu agresi emosional
atau agresi impulsif dan agresi instrumental. Agresi emosional atau impulsif
merupakan bentuk penyerangan terhadap orang lain tanpa ada alasan yang jelas,
tindakan agresi tersebut dilakukan semata mata hanya untuk menyakiti orang
lain, yang mana hasilnya sering kali
korban atau obyek agresi mengalami luka secara fisik. Sedangkan agresi
instrumental adalah tindakan agresi
yang dilakukan dengan alasan-alasan tertentu atau dimaksudkan untuk mencapai
tujuan tertentu (Berkowitz dalam Koeswara, 1988; Brehem & Kassin, 1966).
Agresi instrumental tidak sekedar dimaksudkan menyerang atau menyakiti orang
lain saat itu juga, namun diharapkan memberi dampak pada berbagai hal lain
sesuai tujuan agresor. Termasuk dalam jenis ini adalah prilaku agresi yang muncul
akibat provokasi atau adanya displacement.
Agresi juga dapat dibedakan menurut norma atau pendapat masyarakat
secara umum, menurut pengelompokan ini agresi dibedakan menjadi dua yaitu agresi prososial dan agresi antisosial (Taylor, Pepleu & Sears,
1994). Agresi prososial dipandang sebagai tindakan agresi yang dapat diterima
atau didukung oleh norma-norma dan aturan hukum yang ada ditengah tengah
masyarakat. Sebagai contoh adalah tindakan polisi menembak penjahat, tindakan
polisi yang mengakibatkan luka atau bahkan kematian terhadap objek seringkali diterima oleh masyarakat sebagai
tindakan yang benar. Sedangkan agresi
antisosial adalah agresi yang secara
normatif tidak dapat dibenarkan dan tidak dapat diterima oleh masyarakat secara
unum, karena tindakan tersebut bertentangan dengan norma-norma dan aturan hukum
yang ada dalam masyarakat. Sebagai contoh misalnya tindakan seorang suami yang
menganiaya isterinya sampai luka parah karena dilarang isterinya main judi.
Apapun alasan yang disampaikan agresor sebagai faktor pembenar tetap tidak akan
diterima tindakan tersebut, karena yang dilakukannya bertentangan dengan kaidah
hukum dan norma-norma yang ada dalam masyarakat.
Melalui pengamatan dan penelitian dengan menggunakan subyek binatang,
John Sabini (1992) mengelompokan agresi dalam enam jenis agresi sebagai berikut
:
a.
Agresi predatori, yakni agresi atau penyerangan terhadap pihak lain dengan
tujuan untuk dimakan atau dimusnahkan. Agresi jenis ini biasa ditemukan di
lingkungan alam yang masih liar dan kehidupan masyarakat primitif, dimana satu
jenis binatang menyerang dan memangsa jenis binatang yang lain atau sekelompok
suku primitif menyerang kelompok yang lain kemudian korbannya dimakan
bersama-sama.
b.
Agresi antar jantan, yaitu
agresi akibat dorongan hormon kejantanan atau testosteron, prilaku jenis ini
tidak saja sering ditemukan pada binatang, namun juga ditemukan pada manusia.
Kelompok jantan pada binatang dan manusia laki-laki lebih sering menunjukkan
tindakan agresi daripada kelompok betina atau manusia perempuan.
c.
Agresi berkaitan dengan jenis kelamin, yaitu tindakan agresi yang biasa muncul pada individu
laki-laki untuk menunjukkan kehebatannya pada individu perempuan.
d.
Perbedaan antara agresi antar jantan denga agresi
berkaitan dengan jenis kelamin adalah bahwa dalam agresi dengan jenis kelamin
akan muncul hanya bila ada perempuan yang melihatnya sedangkan pada agresi
antar jantan kehadiran perempuan bukan merupakan prasarat untuk melakukan
agresi.
e.
Agresi maternal, yaitu tindakan
agresi yang dilakukan oleh seorang ibu atau seekor induk betina untuk
melindungi anak-anaknya.Tindakan agresi semacam seringkali dapat diterima oleh
masyarakat manusia, bahkan seringkali malah menimbulkan pujian dan penghargaan.
f.
Agresi untuk melawan ancaman,
yaitu merupakan agresi yang muncul apabila spesies atau individu merasa ada
ancaman terhadapnya. Seringkali agresi jenis ini digunakan sebagai dalih agar
seseorang terlepas dari tuduhan bahwa dirinya menyerang orang lain.
g.
Agresi irritable, yaitu bentuk tindakan agresi sebagi puncak luapan rasa
tidak nyaman atau kemarahan yang berlarut-larut. Bisa juga merupakan suatu
tindakan yang tidak dapat dikendalikan lagi oleh induvidu karena adanya
akumulasi rasa tidak nyaman.
FAKTOR
PENYEBAB TERJADINYA AGRESI
Agresi sebagai suatu prilaku
menarik perhatian dan minat para akhli psikologi untuk diteliti, para akhli
tersebut berusaha dengan berbagai macam teori dan pendekatan untuk memberikan
penjelasan yang seluas-luasnya secara ilmiah
tentang asal usul agresi dari berbagai sudut pandang.
Penjelasan berikut dibawah ini akan mengemukakan beberapa pandangan
teoritis mengenai asal usul agresi, sebagai berikut :
a. Agresi
Sebagai Kondisi Bawaan .
Pandangan utama tentang agresi sebagai bawaan dasar manusia dikemukakan
oleh aliran psikoanalisis (dalam Baron & Byrne, 1991). Psikoanalisa yang
dikemukakan oleh Sigmund Freud menyampaikan pendapat dan pandangannya bahwa
setiap manusia memiliki dua instink dasar, yaitu eros dan thanatos. Eros merupakan instink manusia untuk
mempertahankan hidup yang dimilikinya, sedangkan thanatos merupakan instink manusia untuk membuat kehancuran.
Berdasarkan pandangan ini, maka agresi merupakan bawaan manusia yang cenderung
bersifat thanatos, sehingga setiap usaha yang dilakukan cenderung diarahkan pada tindakan menuju kematian atau
kehancuran.
Pandangan lain tentang agresi sebagai bawaan dasar dikemukakan oleh
Konrad Lorenz menurut Lorenz (dalam Brehm & Kassin), agresi merupakan
kondisi instinktual. Namun berbeda dengan pandangan Freud, Lorenz menyatakan
bahwa prilaku agresi dimunculkan lebih sebagai tindakan untuk mempertahankan
hidup atau memperbaiki kehidupan yang sedang dijalani, dan prilaku agresi
merupakan prilaku yang ditujukan untuk adaptasi dengan lingkungan. Berkaitan
dengan agresi sebagai kondisi bawaan manusia Lorenz memiliki pandangan yang
lebih positif tentang agresi dibandingkan dengan pandangan Freud.
b. Agresi
Sebagai Seleksi Genetik
Pandangan sosiobiologi tentang
agresi hampir sama dengan pandangan Konrad Lorenz yaitu adaptasi, pandangan
sosiobiologi didasarkan pada pandangan Charles Darwin tentang evolusi. Menurut
pandangan sosiobiologi, prilaku agresi merupakan usaha adaptasi untuk
mempertahankan genetik secara umum bukan adaptasi yang bersifat individual (Cosmides
& Tooby dalam Brehm & Kassin,1996). Agresi yang terjadi antar spesies
merupakan suatu seleksi terhadap genetik –genetik yang ada, hasil akhirnya
adalah genetik yang paling baik yang mampu bertahan dan keluar sebagai
pemenang, walaupun diantara genetik-genetik terbaik tersebut masih terjadi
agresi.
Pandangan sosiobiologi dalam mengamati agresi sebagaimana dipaparkan
sebelumnya merupakan pandangan yang didasarkan pada kondisi fisik, sehingga
perlu sangat berhati-hati apabila hendak menggunakan dalam konteks ilmu sosial.
c. Agresi
Sebagai Kondisi Yang Dipelajari.
Penjelasan lain tentang prilaku agresi dikemukakan aliran psikologi
belajar. Menurut aliran ini sebagian
besar prilaku manusia merupakan sesuatu yang dipelajari, demikian juga dengan
prilaku agresi proses, belajar ini biasanyan disebut dengan modelling. Prilaku agresi merupakan prilaku komplek sebagai hasil
belajar. Pada proses pembelajaran melakukan tindakan agresi, individu tidak
semata-mata hanya belajar menyerang orang lain, tetapi didukung dengan segala
pengalaman yang dimiliki sebelumnya individu juga belajar tentang hal lain,
yaitu ;
1)
Orang atau kelompok mana yang akan menjadi target atau
tujuan agresi.
2)
Tindakan agresi yang seperti apa yang hendak dipilih yang
kemudian dilakukan untuk menyerang
orang lain.
3)
Dalam konteks atau situasi seperti apa agresi dipandang
sebagai prilaku yang sesuai dan dibenarkan (Baron & Byrne, 1991).
Tokoh lain yang dipandang
memiliki kompetensi tinggi dalam menjelaskan teori-teori psikologi adalah
Albert Bandura, menurut Bandura proses manusia belajar melakukan tindakan
agresi adalah sama dengan proses yang dilalui manusia untuk mempelajari
berbagai hal lain. Secara umum proses tersebut terdiri dari empat tahapan yang
berkaitan satu sama lain, keempat proses tersebut adalah :
(1) Protes atensional, yaitu individu memiliki rasa
ketertarikan untuk memperhatikan atau mengamati model, proses ini sangat
dipengaruhi oleh seringnya model hadir dan karakteristik-karakteristik yang
dimiliki ,model yang sering hadir lebih berpengaruh daripada model yang jarang
hadir.
(2) Proses retensi, yaitu proses dimana individu pengamat menyimpan
hasil pengamatan yang dilakukan kedalam ingatannya, penyimpanan ini dalam
bentuk kode verbal maupun imajinatif.
(3) Proses reproduksi, yaitu proses dimana individu
pengamat mulai mencoba untuk mengungkapkan kembali hasil pengamatan yang telah
dilakukan dan disimpannya.
(4) Proses motivasional, yaitu proses dimana individu
pengamat telah mampu menyerap perilaku yang diamatinya dan mampu
mengungkapkannya dengan sempurna. Individu mampu mengungkapkan perilaku yang
diamati berdasarkan rangsangan yang memancing
motivasinya (Bandura dalam Koswara, 1998)
Perilaku agresi juga merupakan
hasil pengamatan individu sebelumnya pengamatan tersebut diperoleh individu
dalam keluarga, lingkungan sosial, maupun media-media lain seperti televisi,
surat kabar ataupun majalah. Menurut pandangan teori ini, dalam dunia modern
dimana semua informasi dapat disampaikan dengan cepat mengakibatkan individu dapat
belajar secara lebih baik dan mendalam. Sehingga perilaku yang dimunculkan
dapat lebih sempurna, termasuk didalamnya adalah perilaku agresi.
KECERDASAN EMOSIONAL
Mempelajari dan memahami tentang
pengertian kecerdasan emosional (Emotional Intellegence) memang tidak mudah,
karena EI termasuk cabang ilmu yang baru dikenalkan oleh para akhli psikologi
kepada kita, sedangkan sebelumnya kita lebih mengenal kecerdasan intelektual
(IQ) daripada kecerdasan emosional. Namun demikian kecerdasan emosional pada akhir-akhir
berhasil memikat perhatian dan minat para akhli untuk membahas dan menelitinya
lebih lanjut, kemudian mengembangkannya
melalui penelitian-penelitian ilmiah di universitas. Oleh karena
refrensi atau buku-buku yang menjelaskan tentang kecerdasan emosional masih
sangat terbatas jumlahnya, peneliti merasa kesulitan untuk merangkum pendapat
dan uraian-uraian yang disampaikan para akhli, karena terbatasnya refrensi
tentang ini yang diperoleh peneliti. Tetapi peneliti tetap berusaha sekalipun
dengan refrensi yang terbatas, tetap mengupayakan untuk dapat menyampaikan
uraian tentang kecerdasan emosional
sebagai salah satu aspek yang menjadi obyek penelitian.
Coleman (1996), mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan
lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi
kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan
jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut, seseorang dapat menempatkan
emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Salovey dan Mayer (Stein & Book, 2002) mendefinisikan kecerdasan emosional
sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan
untuk membantu pikiran, memahami perasaan dan maknanya serta mengendalikan perasaan
secara mendalam sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.
Sementara Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional
adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan
kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan
emosi menuntut adanya perasaan untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada
diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif
energi emosi dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya Howes dan Herald
(dalam Winarti, 2001) mengatakan pada intinya, kecerdasaan emosional merupakan
komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut
dikatakannya bahwa emosi manusia berada diwilayah dari perasaan lubuk hati,
naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati,
kecerdasaan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan utuh
tentang diri sendiri dan orang lain.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, peneliti mendefinisikan
kecerdasan emosional sebagai suatu kemampuan untuk menyadari, mengenali emosi
diri sendiri maupun orang lain,
mengelola dan mengontrol emosinya sehingga dapat merespon secara tepat
terhadap setiap situasi yang melibatkan emosinya, serta dapat menggunakan
energi emosinya dengan bijaksana. Dikaitkan dengan tugas dan peran pasukan
dalmas, sudah seharusnya setiap anggota POLRI yang tergabung dalam pasukan
dalmas mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi. Karena dengan kecerdasan
emosional yang tinggi, setiap anggota
pasukan dalmas akan dapat mengontrol emosinya
serta dapat merespon secara tepat terhadap situasi yang melibatkan
emosinya ketika bertugas menghadapi massa.
Kecerdasan emosional (EI)
bukan merupakan lawan kecerdasan intelektual
yang biasa dikenal dengan IQ, namun keduanya senantiasa berinteraksi
secara dinamis dan senergis untuk
membentuk sosok individu manusia yang seutuhnya. Memang pada kenyataannya perlu diakui bahwa
kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mengantarkan
individu mencapai kesuksesan di sekolah, tempat kerja, dalam lingkungan
keluarga dan dalam berkomunikasi di lingkungan masyarakat. Para pakar psikologi
sepakat bahwa kecerdasan emosional sangat bermanfaat bagi individu untuk
meredam dan mengeleminir tekanan-tekanan
psikologis, ketegangan emosional, rasa
frustrasi dan kecemasan yang dialaminya kemudian menguraikannya menjadi
perasaan yang menyenangkan dan bebas dari kecemasan, dengan kata lain individu
telah mengalami katarsis.
Goleman (1996) mengungkapkan lima wilayah kecerdasan emosional yang
dapat menjadi pedoman bagi individu untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan
sehari-hari, yaitu :
a. Kesadaran diri
Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi
merupakan dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya
pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan
pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang
sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan sehingga tidak peka
akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan
masalah.
b. Kendali dorongan hati
Mengelola emosi berarti menangani perasaan
agar perasaan dapat terungkap dengan tepat, hal ini merupakan kecakapan yang
sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola
apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan,
kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua
itu. Sebaliknya orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus
menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal
negatif yang merugikan dirinya sendiri.
c. Motivasi diri
Dengan kemampuan memotivasi diri yang
dimilikinya maka seseorang akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam
menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya. Kemampuan seseorang
memotivasi diri dapat ditelusuri melalui beberapa hal, yaitu cara mengendalikan dorongan hati, derajat
kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang, kekuatan berfikir
positif, optimisme, dan keadaan flow (mengikuti aliran), yaitu keadaan
ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa yang sedang
terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu objek.
d. Empati
Empati atau mengenal emosi orang
lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada
emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan
orang lain. Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya
sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.
e.
Ketrampilan sosial
Seni dalam membina hubungan dengan orang
lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan individu dalam
pergaulan dengan orang lain, tanpa memiliki keterampilan seseorang akan
mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Individu yang tidak memiliki
keterampilan-keterampilan semacam inilah yang
menyebabkan seseroang seringkali dianggap angkuh, mengganggu atau tidak
berperasaan terhadap orang lain.
Ada
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional setiap individu,
faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut :
a. Usia
Setiap ketrampilan dalam
kecerdasan emosional mempunyai jadwal perkembangan tersendiri dan semakin meningkatnya usia maka
perkembangan kecerdasan emosional semakin kompleks dan bervariasi dibandingkan
dengan perkembangan fisik atau kognitif, tetapi perkembangan kecerdasan emosional
ini dalam banyak hal dapat diperkirakan (Shapiro, 1997). Pada setiap
tahap-tahap perkembangan kecerdasan emosional
yang dialami individu, orang tua perlu lebih memperhatikannya sehingga
dapat diperoleh kecerdasan emosional yang optimal untuk menghindarkan diri dari
berbagai masalah yang mungkin akan dihadapi oleh individu selama dalam
perkembangannya menuju kedewasan dirinya.
b. Pusat kendali di otak
Di dalam otak manusia terdapat
amigdala yang merupakan tempat untuk menyimpan ingatan-ingatan tentang emosi.
Amigdala merupakan bagian tubuh yang memproses hal-hal yang berhubungan dengan
emosi, seperti perasaan salah, marah, nafsu, kasih sayang dan sebagainya, semua
itu tergantung pada amigdala. Apabila amigdala hilang dari otak maka kemampuan
menangkap makna emosi dari suatu peristiwa tidak ada lagi, jadi aspek perasaan
sudah tidak dimiliki. Peran amigdala ini menjelaskan mengapa emosi dapat
mengalahkan rasio (Goleman, 1996). Amigdala mampu mangambil alih kendali
tindakan sewaktu otak sedang menyusun keputusan, yang disebut dengan “pembajakan
emosi”. Orang yang memiliki kecerdasan emosional rendah ketika dihadapkan
dengan suatu masalah yang mengganggu pikirannya akan membuat otak mereka
dibentuk dalam suasana tegang, yang akan menghambat mekanisme normal sehingga
memudahkan terjadinya pembajakan emosi. Dengan adanya kemungkinan pembajakan
emosi maka emosi dapat membahayakan sehingga orang yang tidak mampu
mengendalikan emosi cenderung menunjukkan reaksi impulsif, berlebihan, dan
mudah terancam atau tersingkirkan (Pertiwi dkk, dalam seri Ayahbunda, 1997).
c. Pendidikan emosi
Shapiro (1997) berpendapat bahwa kecerdasan emosional dapat diajarkan
kepada anak karena kecerdasan emosional tidak begitu dipengaruhi oleh faktor
keturunan sehingga membuka kesempatan orangtua dan pendidik untuk mengajarkannya.
Semua pengalaman dan pengelolaan emosi yang berulang- ulang pada masa
kanak-kanak dan remaja akan membentuk sirkuit yang menentukan kecerdasan
emosional (Pertiwi dkk, dalam seri Ayah bunda, 1997). Lebih lanjut Goleman
(1996), mengatakan bahwa melalui pengalaman- pengalaman emosi dan pembelajaran
emosi yang tepat dan berulang, yang diterima oleh lingkungan sekitarnya, maka
perkembangan kecerdasan emosional akan berkembang secara optimal.
d. Pola asuh orangtua
Pentingnya peran orangtua dalam pembentukan kecerdasan emosi mengacu
pada pendapat Cooper & Sawaf (1998) yang memandang kecerdasan emosi sebagai
sesuatu yang dapat dipelajari dan dikembangkan serta disempurnakan kapan saja
pada usia berapa saja. Ahli tingkah laku
genetika mengamati bahwa gen-gen tidak
berperan utama dalam menentukan tingkah laku seseorang, tetapi banyak
dipengaruhi oleh lingkungan. Apa yang dialami dan dipelajari dalam kehidupan
sehari-hari yang lebih menentukan tingkah laku termasuk pola tanggapan emosi,
penghargaan, tanggapan yang menyenangkan, atau hukuman yang menyakitkan
semuanya akan membekas di dalam kehidupan anak- anak. Masa kanak-kanak dan
remaja merupakan kesempatan emas untuk membantu kebiasaan emosional yang
bermanfaat akan membawa atau bila terlewatkan akan menyebabkan kesulitan dalam
memberikan pelajaran yang bersifat korektif dalam hidupnya nanti (Nurrohmah,
2000). Di dalam asuhan orang tua yang baik diharapkan dapat terpenuhi semua
kebutuhan anak, baik kebutuhan biologis, kebutuhan sosial, maupun kebutuhan
psikis, yang berguna merangsang terbentuknya kecerdasan emosional yang
baik.
e. Hubungan sosial
dengan individu lain
Hubungan sosial dengan individu lain mempunyai arti yang sangat penting
bagi perkembangan kepribadian individu untuk mencapai kedewasan dirinya.
Perkembangan kepribadian ini ditentukan oleh hubungan antar pribadi, yang
dimulai dengan hubungan dengan orangtua meskipun hubungan dengan
individu-individu yang lain juga mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
perkembangan individu selanjutnya. Hubungan dengan individu dalam suatu
kelompok akan meninggalkan kebiasaan pergaulan yang berguna bagi pergaulan
selanjutnya dalam kehidupan individu yang mungkin tidak diperoleh dalam
jaringan hubungan yang lain. Keberhasilan dalam pergaulan akan meninggalkan
kepuasaan dan kebanggaan tersendiri yang besarnya hampir sama dengan kasih
sayang dari pengasuhan orang tua (Sullivan, dalam Shapiro, 1997). Hubungan
sosial yang baik dengan individu lain dalam kelompoknya, akan mempertajam
kemampuannya dalam menggunakan keterampilan emosi dan sosial yang lebih baik,
sehingga individu akan mudah diterima didalam kelompoknya.
Individu dengan kecerdasan
emosional yang tinggi akan lebih berbahagia, percaya diri, populer dan lebih
sukses didalam hubungan dengan lingkungan sosial, lebih mampu menguasai gejolak
emosi, memiliki hubungan yang harmonis
dengan orang tua, dapat mengelola stress, serta memiliki rasa percaya diri dan
mempunyai status kesehatan mental yang baik. Individu dengan kecerdasan
emosional tinggi, mampu lebih cepat menguasai perasaan-perasaan negatif dan
bangkit kembali kedalam kehidupan emosi yang normal, selain itu mereka mampu
membaca perasaan dan isyarat non verbal baik nada bicara, gerak gerik, ekspresi
wajah dan sebagainya. Mempunyai kemampuan mudah menyesuaikan diri secara
emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, lebih peka, pandai membaca emosi
orang lain dan memiliki kesadaran diri yang tinggi. Dalam situasi pergaulan
sosial, individu tersebut juga pandai membina hubungan dan dikenal sebagai kawan
yang menyenangkan dan populer, membuat orang lain disekitarnya merasa dekat,
akrab dan nyaman (Goleman, 1996; Gottman & Declaire, 1997). Ciri-ciri
tersebut diatas hendaknya dimiliki oleh setiap personil POLRI yang tergabung
dalam pasukan dalmas, sehingga mereka akan lebih mampu mengontrol dan
mengendalikan emosinya serta lebih mampu mengambil keputusan yang tepat dan
bijaksana ketika menghadapi massa di lapangan. Dengan demikian terjadinya
insiden pelanggaran HAM yang dilakukan
pasukan dalmas di lapangan dapat diminimalisir atau bahkan dihilangkan sama
sekali, sehingga setiap terjadi kasus unjuk rasa (unras) massa, diharapkan
dapat berakhir dengan aman dan tertib tanpa adanya korban yang jatuh akibat
agresi dan arogansi dari massa maupun aparat yang mengamankan.
Pertiwi (1997), mengatakan bahwa individu dengan kecerdasan emosional
yang rendah akan cenderung kurang bahagia dalam hidupnya, kurang mampu
mengelola emosi, kurang percaya diri dan mengalami hambatan dalam penyesuaian
diri dengan relasi sosial. Dalam menghadapi tekanan-tekanan diluar diri yang
terjadi secara terus menerus, individu
tersebut mengalami kesulitan untuk mengelola tekanan-tekanan (stress) tersebut untuk diuraikan menjadi
sesuatu yang menyenangkan. Ketidakmampuan dalam mengelola emosi dan menguraikan
stress yang dialami, membuat individu menjadi sensitif, mudah tersinggung,
mudah cemas, kurang percaya diri dan sulit untuk mengontrol emosi dengan baik,
bahkan yang lebih parah dapat berakibat munculnya perilaku anti sosial pada
individu. Kondisi psikologis semacam ini apabila dipicu oleh adanya provokasi
atau stimulus dari luar yang dapat mengancam individu, akan direspon individu
dengan memunculkan perilaku agresi sebagai bentuk mekanisme pertahanan ego.
Realita semacam ini sering dijumpai pada perilaku pasukan dalmas di lapangan,
pasukan dalmas melakukan tindak agresi menyerang massa yang dihadapinya secara
brutal, karena mereka menganggap massa yang dihadapinya sebagai ancaman yang
dapat membahayakan dirinya. Ketidakmampuan pasukan dalmas dalam mengelola emosi
dengan baik, akan berakibat merugikan yaitu terjadinya kontra agresi antara
massa dan pasukan dalmas serta terjadinya pelanggaran HAM terhadap massa yang
seharusnya dilindungi dan diayomi.
Posting Komentar